Sunday, October 13, 2013

Yakin....Masih Ada Cinta Untuk

gambar_berita
(ilustrasi)
Oleh: Poppy Amanda Sari. Mentari tersenyum indah pagi ini, seakan tak pernah ada beban yang dipikulnya. Tapi, tak seperti aku yang selalu menganggap semua anugerah dalam hidupku adalah beban. Aku memang selalu mengeluh, aku tak pernah bisa memaknai hidupku. Mungkin karena tak pernah ada kasih sayang yang kurasakan selama ini. Seharusnya aku bisa bercermin pada mentari, sang surya yang selalu bersinar sendiri dan tak pernah merasakan cinta saja bisa dengan tulus menyongsong bumi yang mungkin tak pernah memberinya apapun. Tapi aku, hanya bisa mengeluh dan menangis, mungkin karena aku bukan diciptakan sebagai mentari yang tak punya cinta dan kasih, aku hanya remaja putri yang haus akan kasih. Ingin sekali rasanya kupeluk ia sambil menghirup udara pagi, mendengar burung bernyanyi dari jendela kamarku. Tapi itu mustahil, ibu tidak mungkin ada di sampingku. Aku harus tahu itu, kasihnya memang bukan untukku.

Selain dari ayah, aku memang tak pernah mendapatkan kasih dari siapapun. Aku hanya bisa mengharapkan kasih Tuhan, hanya pada-Nya lah aku bisa bercerita. Tapi kadang, aku merasa Tuhan tak adil kepadaku. Mengapa Dia harus mengambil satu-satunya orang yang selalu siap untuk menyayangiku? Sejak ayah pergi, ibu selalu bersikap kasar kepadaku, walaupun selama ayah masih hiduppun, ibu memang tak pernah bersikap lembut padaku. Tuhan, hanya satu pintaku di penghujung ramadhan ini, aku mohon berilah sedikit cinta di hati ibu untukku, torehkan namaku di hatinya karena aku sangat mencintainya.

Hari ini aku akan pulang ke rumah ibu. Mudah-mudahan ibu mau menerimaku, seperti harapanku selama ini. Aku berharap, ketika aku datang nanti, ibu mau membuka kedua tangannya untuk menyambutku. Karena aku tahu, tempatku adalah di hati ibu, bukan di hati si mbok, ibu kost yang selama ini menganggap aku seperti anaknya.

“Mbok, aku pergi dulu ya”, pamitku kepada si mbok.

“Kamu mau pulang? Hati-hati di jalan ya. Ingat nduk, jangan buat ibumu marah!”, pesan si mbok lembut.

“lya mbok. Mbok, maafkan semua kesalahan Riris ya, doakan Riris, mudah-mudahan ibu mau menerima kedatangan Riris.”

“lya, si mbok pasti doakan kamu. Sudah, pergilah”, kata si mbok sambil memelukku.

Lagi-lagi aku menangis di pelukannya,’”Tuhan aku butuh sosok ibu seperti ini, aku butuh kasih ibu, perhatian ibu, aku butuh semuanya.”

“Ris, berikan ini pada ibumu”, si mbok memberi sebuah bungkusan.

“ Apa itu mbok?” tanyaku heran.

“Sudah, bawa saja. Pergilah!”

Aku berjalan menenteng tas menuju lorong tempat aku dibesarkan. Suara kembang api dan petasan bersahut-sahutan seakan tak mau dikalahkan oleh gema takbir yang membuat aku menangis. Ayah tidak ada di sampingku, siapa yang akan membelaku nanti kalau ibu tak mengizinkan aku datang di di rumahnya. Tapi aku percaya, ibu pasti menerimaku.

“Assalamualaikum,” kuketuk pintu rumah ibu.

“Waalaikumsalam”, terdengar sahutan salamku dari dalam. Aku mengenali suara itu, itu suara kak Lisa, anak kesayangan ibu yang mampu menempati seluruh bagian di hati ibu.

“Riris... kamu pulang?”, dia menangis sambil memelukku.

“Di mana ibu kak?”, bisikku lembut.

“Ibu ada di dalam, masuklah”

Aku hanya mengangguk.

“Jangan biarkan gadis itu masuk!”, bentak ibu dari dalam.

Tuhan, mendengar kata-kata itu rasanya darahku seperti mendidih, pandanganku kabur, hatiku seperti dicabik-cabik cakar tajam. Air mataku mulai membasahi pipi, tanganku lemas, tak terasa tas berisi bingkisan dari si mbok jatuh dari tanganku. Aku tak menyangka, ibu berkata seperti itu. Apa ibu masih menganggap aku yang menyebabkan kematian ayah. Tuhan, itu hanyalah kecelakaan, kalau tahu akan begini, aku tak pernah mau di selamatkan ayah.

“Ibu, di luar hujan. Lisa gak akan biarin Riris pulang malam-malam begini, dia itu perempuan bu”.

“Itu terserah dia, ibu gak mau melihat penghancur itu ada di rumah ibu. Ibu hanya berjanji akan membiayainya, bukan merawat atau menerimanya lagi di rumah ini”, tandas ibu keras.

Aku tak pernah tau apa salahku, apa yang membuat ibu begitu membenciku, padahal cinta dan kasihku hanya untuknya.

“Lisa, bawa dia keluar!”

“Cukup bu!” aku mencoba tegar.

“Riris tau, Riris cuma musibah di keluarga ini, Riris memang gak pernah bisa dibanggakan. Tapi tolong bu, jangan lihat Riris dengan mata ibu, pandang Riris dengan hati ibu, pasti masih ada sedikit cinta untuk Riris. Alasan apa yang membuat ibu benci sama Riris, apa Riris bukan anak ibu?”, aku mencoba tegar di balik air mataku. Kulihat ibu memalingkan wajahnya, aku tahu dia menangis, aku tahu dia tak pernah mau membenciku, dan aku percaya masih ada cinta di hatinya untukku.

“Kenapa ibu diam? Ibu tahu, setiap malam Riris menangis. Riris iri sama kak Lisa, dia bisa mendapatkan kasih sayang ibu, dia bisa mendapatkan belaian ibu, dia bisa berada di samping ibu. Kak Lisa selalu mendapatkan kasih dan kecupan yang tulus dari ibu sebelum ia benar-benar terlelap. Tapi, Riris gak pernah dapetin itu. Ibu tau si mbok, wanita tua yang bukan siapa-siapa Riris, bisa memberikan kasihnya untuk Riris, tapi bagaimana dengan ibu, cuma ada kebencian di hati ibu”. Air mataku jatuh membasahi pipiku yang memang sudah basah karena hujan. Kak Lisa berlari dan memeluk tubuhku yang sudah basah. Aku melepas pelukannya, aku pergi meninggalkan mereka. Berat rasanya pergi tanpa senyuman, tapi aku tak sanggup lagi, memang tak pernah ada kasih untukku. Bahkan, tak sepatah katapun yang dikeluarkan ibu untukku. Tapi, air mata ibu cukup mewakili rasa cintanya.

***

“Ya Allah sayang, kamu kenapa basah begini? Kenapa kamu pulang?” tanya si mbok dengan cemas.

“Ibu mengusirku mbok”, aku menangis di pelukannya.

“Sudahlah nduk, si mbok percaya ibumu tidak bermaksud seperti itu. Tidak ada ibu yang tega melihat anaknya seperti ini, percaya sama si mbok, dia pasti datanhg untuk menjemputmu suatu saat nanti. Yakinlah, dia itu mencintaimu”, si mbok mencoba menenangkanku dengan senyumannya.

Mulai saat ini aku akan membiasakan diri hidup tanpa cinta, aku tak mau mengganggu kehidupan ibu dan kakakku lagi. Sinar mentari pagi ini langsung mengarah ke wajahku. Aku agak kesiangan hari ini, tapi tak seperti biasanya, rumah kost ini kelihatan sepi sekali.

“Happy birthday Riris!”, teriak teman-teman satu kostku. Kulihat si mbok memimpin mereka mendobrak pintu kamarku. Aku menangis, terbayang wajah ayah yang seolah-olah ada di sampingku. Kulihat senyuman kak Lisa yang berdiri di belakang si mbok.

“Kakak punya hadiah dan rahasia besar untukmu”, bisiknya pelan.

“Ayo kita keluar, biarkan mereka berdua”, si mbok mengajak teman-temanku keluar.

“Selama ini Riris selalu tanya sama kakak, kesalahan apa yang membuat ibu benci sama Riris”.

“Udahlah kak, aku udah bisa belajar mandiri tanpa cinta kalian”

“Lihat wajahmu”, kak Lisa memberiku cermin.

“Wajah ini mirip dengan oma, orang yang paling dibenci ibu sekaligus paling disayanginya. Riris tahu kenapa ibu benci sama oma? Itu karena oma gak pernah membagi kasihnya kepada ibu, omalah orang yang pernah menyisihkan ibu. Ibu tumbuh tanpa kasih sayang, ibu diterlantarkan, ibu gak kenal cinta Ris.”

“Maksud kakak, ibu ingin membalas semua itu kepadaku?”

“Ibu melihat wajah oma di wajahmu, ibu gak bisa menutupi kebenciannya.”

“Dan ibu harus membenciku juga, sama seperti ibu membenci oma?”

“Dengar Ris, ibu sangat menyayangimu. Bahkan melebihi rasa sayangnya sama kakak. Tapi, ibu gak pernah mau mengakuinya. Kamu tahu, ibu gelisah setiap kali mendengar suara petir, itu karena ibu tahu Riris takut sama petir. Ibu selalu menghidupkan lampu kamar Riris, karena ibu tahu Riris gak pernah bisa tidur di tempat gelap.”

Air mataku jatuh mendengar penjelasan kak Lisa. Tuhan apa benar yang dikatakan kakakku, atau dia hanya ingin menyenangkanku. Apa sebenarnya yang ada di hati ibuku, kebencian atau cinta?

“Ris...”, si mbok masuk memecah ketegangan di kamarku.

“lya mbok, ada apa?”.

“Ada surat dari kantor pos” si mbok menyodorkan surat yang dipegangnya. Kubuka surat itu perlahan dengan rasa penasaran, dan ternyata... puji syukur kepada Allah, itu surat undangan untuk pemenang lomba menulis.

“Kak, aku juara 1”, seruku bahagia.

“Juara apa?”, tanya kak Lisa heran.

“Lomba menulis se-JABODETABEK, aku menang kak” kupeluk ia erat. 

“Tapi kak, harus ada orang tua yang mendampingi” tambahku. 

“Maaf ya Ris, kakak gak bisa nemenin kamu, kakak juga harus pulang sekarang. Maaf ya Ris, tunggu hadiah kakak besok.”

“Tapi kak.. .”aku mencoba menahan kakakku tapi dia pergi begitu saja.

***

“Mbok, Riris pergi ya. Doakan Riris supaya Riris bisa lancar kalau disuruh ngomong di sana nanti, yaa... walaupun tanpa ibu”, aku tersenyum kecil.

“Y owes, kamu pergi sana. Masih ada gusti Allah yang mau nemenin kamu.”

“Tapi, seharusnya ibu yang ada di sampingku. Apa yang mau Riris jawab kalau mereka tanya di mana orang tua Riris”, celotehku manja.

“Bilang sama mereka semua, ibu ada di sini nak.”

Suara itu, aku sangat mengenali suara itu. Suara itu berasal dari luar. Itu... ya, aku tahu, itu suara ibu. Tapi, apa mungkin itu suara ibu.

“Ris, lihat ke belakang nak!”, seru si mbok.

“Ibu...”, air mataku jatuh ketika melihat ibu mengulurkan kedua tangannya menyambutku. Ya Allah itu benar-benar ibuku, tapi bagaimana ibu bisa berubah. Bukankah ibu sangat membenciku.

“Peluk ibu nak, peluk ibu, peluk ibu sekarang sayang”, suara ibu terbata-bata. Aku tahu, ibu sedang menahan tangis. Kutabrak sosok semampai itu, kupeluk erat tubuhnya, bahkan aku tak memperdulikan undangan itu lagi, karena memang itu yang aku impikan selama ini, berada di pelukan hangatnya sambil menghirup sejuknya udara pagi.

“Dengar ibu nak, hati ibu seperti disayat-sayat sembilu waktu Riris bilang Riris iri sama kak Lisa karena ibu selalu memberikan kasih sayang ibu cuma untuk kak Lisa. Ibu sadar nak, ibu sudah keterlaluan, gak seharusnya ibu membawa kebencian ibu di masa lalu kepada anak ibu”, bisik ibu sambil menangis.

“Tapi kenapa ibu lakukan itu kepada Riris?” “Itu karena... karena ibu melihat mata itu nak. Kebencian itu ada di mata kamu, tapi ibu gak bisa bohong, hati ibu sangat mencintai kamu.”

“Ibu... ibu lihat mata Riris sekarang, Cuma ada cinta untuk ibu, bukan benci. Ibu yang paling berharga di hati Riris”.

“Ibu mencintaimu nak.” Ibu memelukku erat sampai aku sulit bernapas, tapi disinilah aku bisa merasakan kasih sayang ibu. Kasih sayang yang selama ini diselimuti kebencian. Ayah benar, ibu membenciku karena dia sangat mencintaiku. Ibu pasti menyediakan tempat di hatinya untukku.

Hari ini aku bisa merasakan kasih sayang yang sangat luar biasa, lebih dari cinta ayah, lebih dari sayang kak Lisa, bahkan lebih dari belaian si mbok. Ya, inilah hadiah yang dijanjikan kak Lisa, aku tahu dia yang telah merasuki pikiran ibu. Pasti kak Lisa yang telah meracuni ibu sampai bisa membuat ibu memandangku dengan cinta. Kini aku merasa lebih beruntung dari mentari, aku punya cinta, aku punya kasih sayang, dan aku punya tiga sosok wanita yang sangat menyayangiku. Ibu, si mbok, dan kak Lisa. 

Sumber : http://www.analisadaily.com/news/21190/yakin-masih-ada-cinta-untukku

0 comments:

Post a Comment