(ilustrasi)
Oleh: Poppy Amanda Sari. Mentari
tersenyum indah pagi ini, seakan tak pernah ada beban yang dipikulnya.
Tapi, tak seperti aku yang selalu menganggap semua anugerah dalam
hidupku adalah beban. Aku memang selalu mengeluh, aku tak pernah bisa
memaknai hidupku. Mungkin karena tak pernah ada kasih sayang yang
kurasakan selama ini. Seharusnya aku bisa bercermin pada mentari, sang
surya yang selalu bersinar sendiri dan tak pernah merasakan cinta saja
bisa dengan tulus menyongsong bumi yang mungkin tak pernah memberinya
apapun. Tapi aku, hanya bisa mengeluh dan menangis, mungkin karena aku
bukan diciptakan sebagai mentari yang tak punya cinta dan kasih, aku
hanya remaja putri yang haus akan kasih. Ingin sekali rasanya kupeluk ia
sambil menghirup udara pagi, mendengar burung bernyanyi dari jendela
kamarku. Tapi itu mustahil, ibu tidak mungkin ada di sampingku. Aku
harus tahu itu, kasihnya memang bukan untukku.
Selain dari ayah, aku memang tak pernah mendapatkan kasih dari
siapapun. Aku hanya bisa mengharapkan kasih Tuhan, hanya pada-Nya lah
aku bisa bercerita. Tapi kadang, aku merasa Tuhan tak adil kepadaku.
Mengapa Dia harus mengambil satu-satunya orang yang selalu siap untuk
menyayangiku? Sejak ayah pergi, ibu selalu bersikap kasar kepadaku,
walaupun selama ayah masih hiduppun, ibu memang tak pernah bersikap
lembut padaku. Tuhan, hanya satu pintaku di penghujung ramadhan ini, aku
mohon berilah sedikit cinta di hati ibu untukku, torehkan namaku di
hatinya karena aku sangat mencintainya.
Hari ini aku akan pulang ke rumah ibu. Mudah-mudahan ibu mau
menerimaku, seperti harapanku selama ini. Aku berharap, ketika aku
datang nanti, ibu mau membuka kedua tangannya untuk menyambutku. Karena
aku tahu, tempatku adalah di hati ibu, bukan di hati si mbok, ibu kost
yang selama ini menganggap aku seperti anaknya.
“Mbok, aku pergi dulu ya”, pamitku kepada si mbok.
“Kamu mau pulang? Hati-hati di jalan ya. Ingat nduk, jangan buat ibumu marah!”, pesan si mbok lembut.
“lya mbok. Mbok, maafkan semua kesalahan Riris ya, doakan Riris, mudah-mudahan ibu mau menerima kedatangan Riris.”
“lya, si mbok pasti doakan kamu. Sudah, pergilah”, kata si mbok sambil memelukku.
Lagi-lagi aku menangis di pelukannya,’”Tuhan aku butuh sosok ibu
seperti ini, aku butuh kasih ibu, perhatian ibu, aku butuh semuanya.”
“Ris, berikan ini pada ibumu”, si mbok memberi sebuah bungkusan.
“ Apa itu mbok?” tanyaku heran.
“Sudah, bawa saja. Pergilah!”
Aku berjalan menenteng tas menuju lorong tempat aku dibesarkan. Suara
kembang api dan petasan bersahut-sahutan seakan tak mau dikalahkan oleh
gema takbir yang membuat aku menangis. Ayah tidak ada di sampingku,
siapa yang akan membelaku nanti kalau ibu tak mengizinkan aku datang di
di rumahnya. Tapi aku percaya, ibu pasti menerimaku.
“Assalamualaikum,” kuketuk pintu rumah ibu.
“Waalaikumsalam”, terdengar sahutan salamku dari dalam. Aku mengenali
suara itu, itu suara kak Lisa, anak kesayangan ibu yang mampu menempati
seluruh bagian di hati ibu.
“Riris... kamu pulang?”, dia menangis sambil memelukku.
“Di mana ibu kak?”, bisikku lembut.
“Ibu ada di dalam, masuklah”
Aku hanya mengangguk.
“Jangan biarkan gadis itu masuk!”, bentak ibu dari dalam.
Tuhan, mendengar kata-kata itu rasanya darahku seperti mendidih,
pandanganku kabur, hatiku seperti dicabik-cabik cakar tajam. Air mataku
mulai membasahi pipi, tanganku lemas, tak terasa tas berisi bingkisan
dari si mbok jatuh dari tanganku. Aku tak menyangka, ibu berkata seperti
itu. Apa ibu masih menganggap aku yang menyebabkan kematian ayah.
Tuhan, itu hanyalah kecelakaan, kalau tahu akan begini, aku tak pernah
mau di selamatkan ayah.
“Ibu, di luar hujan. Lisa gak akan biarin Riris pulang malam-malam begini, dia itu perempuan bu”.
“Itu terserah dia, ibu gak mau melihat penghancur itu ada di rumah
ibu. Ibu hanya berjanji akan membiayainya, bukan merawat atau
menerimanya lagi di rumah ini”, tandas ibu keras.
Aku tak pernah tau apa salahku, apa yang membuat ibu begitu membenciku, padahal cinta dan kasihku hanya untuknya.
“Lisa, bawa dia keluar!”
“Cukup bu!” aku mencoba tegar.
“Riris tau, Riris cuma musibah di keluarga ini, Riris memang gak
pernah bisa dibanggakan. Tapi tolong bu, jangan lihat Riris dengan mata
ibu, pandang Riris dengan hati ibu, pasti masih ada sedikit cinta untuk
Riris. Alasan apa yang membuat ibu benci sama Riris, apa Riris bukan
anak ibu?”, aku mencoba tegar di balik air mataku. Kulihat ibu
memalingkan wajahnya, aku tahu dia menangis, aku tahu dia tak pernah mau
membenciku, dan aku percaya masih ada cinta di hatinya untukku.
“Kenapa ibu diam? Ibu tahu, setiap malam Riris menangis. Riris iri
sama kak Lisa, dia bisa mendapatkan kasih sayang ibu, dia bisa
mendapatkan belaian ibu, dia bisa berada di samping ibu. Kak Lisa selalu
mendapatkan kasih dan kecupan yang tulus dari ibu sebelum ia
benar-benar terlelap. Tapi, Riris gak pernah dapetin itu. Ibu tau si
mbok, wanita tua yang bukan siapa-siapa Riris, bisa memberikan kasihnya
untuk Riris, tapi bagaimana dengan ibu, cuma ada kebencian di hati ibu”.
Air mataku jatuh membasahi pipiku yang memang sudah basah karena hujan.
Kak Lisa berlari dan memeluk tubuhku yang sudah basah. Aku melepas
pelukannya, aku pergi meninggalkan mereka. Berat rasanya pergi tanpa
senyuman, tapi aku tak sanggup lagi, memang tak pernah ada kasih
untukku. Bahkan, tak sepatah katapun yang dikeluarkan ibu untukku. Tapi,
air mata ibu cukup mewakili rasa cintanya.
***
“Ya Allah sayang, kamu kenapa basah begini? Kenapa kamu pulang?” tanya si mbok dengan cemas.
“Ibu mengusirku mbok”, aku menangis di pelukannya.
“Sudahlah nduk, si mbok percaya ibumu tidak bermaksud seperti itu.
Tidak ada ibu yang tega melihat anaknya seperti ini, percaya sama si
mbok, dia pasti datanhg untuk menjemputmu suatu saat nanti. Yakinlah,
dia itu mencintaimu”, si mbok mencoba menenangkanku dengan senyumannya.
Mulai saat ini aku akan membiasakan diri hidup tanpa cinta, aku tak
mau mengganggu kehidupan ibu dan kakakku lagi. Sinar mentari pagi ini
langsung mengarah ke wajahku. Aku agak kesiangan hari ini, tapi tak
seperti biasanya, rumah kost ini kelihatan sepi sekali.
“Happy birthday Riris!”, teriak teman-teman satu kostku. Kulihat si
mbok memimpin mereka mendobrak pintu kamarku. Aku menangis, terbayang
wajah ayah yang seolah-olah ada di sampingku. Kulihat senyuman kak Lisa
yang berdiri di belakang si mbok.
“Kakak punya hadiah dan rahasia besar untukmu”, bisiknya pelan.
“Ayo kita keluar, biarkan mereka berdua”, si mbok mengajak teman-temanku keluar.
“Selama ini Riris selalu tanya sama kakak, kesalahan apa yang membuat ibu benci sama Riris”.
“Udahlah kak, aku udah bisa belajar mandiri tanpa cinta kalian”
“Lihat wajahmu”, kak Lisa memberiku cermin.
“Wajah ini mirip dengan oma, orang yang paling dibenci ibu sekaligus
paling disayanginya. Riris tahu kenapa ibu benci sama oma? Itu karena
oma gak pernah membagi kasihnya kepada ibu, omalah orang yang pernah
menyisihkan ibu. Ibu tumbuh tanpa kasih sayang, ibu diterlantarkan, ibu
gak kenal cinta Ris.”
“Maksud kakak, ibu ingin membalas semua itu kepadaku?”
“Ibu melihat wajah oma di wajahmu, ibu gak bisa menutupi kebenciannya.”
“Dan ibu harus membenciku juga, sama seperti ibu membenci oma?”
“Dengar Ris, ibu sangat menyayangimu. Bahkan melebihi rasa sayangnya
sama kakak. Tapi, ibu gak pernah mau mengakuinya. Kamu tahu, ibu gelisah
setiap kali mendengar suara petir, itu karena ibu tahu Riris takut sama
petir. Ibu selalu menghidupkan lampu kamar Riris, karena ibu tahu Riris
gak pernah bisa tidur di tempat gelap.”
Air mataku jatuh mendengar penjelasan kak Lisa. Tuhan apa benar yang
dikatakan kakakku, atau dia hanya ingin menyenangkanku. Apa sebenarnya
yang ada di hati ibuku, kebencian atau cinta?
“Ris...”, si mbok masuk memecah ketegangan di kamarku.
“lya mbok, ada apa?”.
“Ada surat dari kantor pos” si mbok menyodorkan surat yang
dipegangnya. Kubuka surat itu perlahan dengan rasa penasaran, dan
ternyata... puji syukur kepada Allah, itu surat undangan untuk pemenang
lomba menulis.
“Kak, aku juara 1”, seruku bahagia.
“Juara apa?”, tanya kak Lisa heran.
“Lomba menulis se-JABODETABEK, aku menang kak” kupeluk ia erat.
“Tapi kak, harus ada orang tua yang mendampingi” tambahku.
“Maaf ya Ris, kakak gak bisa nemenin kamu, kakak juga harus pulang sekarang. Maaf ya Ris, tunggu hadiah kakak besok.”
“Tapi kak.. .”aku mencoba menahan kakakku tapi dia pergi begitu saja.
***
“Mbok, Riris pergi ya. Doakan Riris supaya Riris bisa lancar kalau
disuruh ngomong di sana nanti, yaa... walaupun tanpa ibu”, aku tersenyum
kecil.
“Y owes, kamu pergi sana. Masih ada gusti Allah yang mau nemenin kamu.”
“Tapi, seharusnya ibu yang ada di sampingku. Apa yang mau Riris jawab
kalau mereka tanya di mana orang tua Riris”, celotehku manja.
“Bilang sama mereka semua, ibu ada di sini nak.”
Suara itu, aku sangat mengenali suara itu. Suara itu berasal dari
luar. Itu... ya, aku tahu, itu suara ibu. Tapi, apa mungkin itu suara
ibu.
“Ris, lihat ke belakang nak!”, seru si mbok.
“Ibu...”, air mataku jatuh ketika melihat ibu mengulurkan kedua
tangannya menyambutku. Ya Allah itu benar-benar ibuku, tapi bagaimana
ibu bisa berubah. Bukankah ibu sangat membenciku.
“Peluk ibu nak, peluk ibu, peluk ibu sekarang sayang”, suara ibu
terbata-bata. Aku tahu, ibu sedang menahan tangis. Kutabrak sosok
semampai itu, kupeluk erat tubuhnya, bahkan aku tak memperdulikan
undangan itu lagi, karena memang itu yang aku impikan selama ini, berada
di pelukan hangatnya sambil menghirup sejuknya udara pagi.
“Dengar ibu nak, hati ibu seperti disayat-sayat sembilu waktu Riris
bilang Riris iri sama kak Lisa karena ibu selalu memberikan kasih sayang
ibu cuma untuk kak Lisa. Ibu sadar nak, ibu sudah keterlaluan, gak
seharusnya ibu membawa kebencian ibu di masa lalu kepada anak ibu”,
bisik ibu sambil menangis.
“Tapi kenapa ibu lakukan itu kepada Riris?” “Itu karena... karena ibu
melihat mata itu nak. Kebencian itu ada di mata kamu, tapi ibu gak bisa
bohong, hati ibu sangat mencintai kamu.”
“Ibu... ibu lihat mata Riris sekarang, Cuma ada cinta untuk ibu, bukan benci. Ibu yang paling berharga di hati Riris”.
“Ibu mencintaimu nak.” Ibu memelukku erat sampai aku sulit bernapas,
tapi disinilah aku bisa merasakan kasih sayang ibu. Kasih sayang yang
selama ini diselimuti kebencian. Ayah benar, ibu membenciku karena dia
sangat mencintaiku. Ibu pasti menyediakan tempat di hatinya untukku.
Hari ini aku bisa merasakan kasih sayang yang sangat luar biasa,
lebih dari cinta ayah, lebih dari sayang kak Lisa, bahkan lebih dari
belaian si mbok. Ya, inilah hadiah yang dijanjikan kak Lisa, aku tahu
dia yang telah merasuki pikiran ibu. Pasti kak Lisa yang telah meracuni
ibu sampai bisa membuat ibu memandangku dengan cinta. Kini aku merasa
lebih beruntung dari mentari, aku punya cinta, aku punya kasih sayang,
dan aku punya tiga sosok wanita yang sangat menyayangiku. Ibu, si mbok,
dan kak Lisa.
Sumber : http://www.analisadaily.com/news/21190/yakin-masih-ada-cinta-untukku